Kuasa dan kekerasan adalah dua aspek yang saling terkait dalam budaya populer Jepang, khususnya dalam konteks Yakuza. Yakuza adalah organisasi kriminal terbesar di Jepang yang telah ada selama lebih dari seratus tahun. Mereka dikenal dengan kekuatan mereka dan kekerasan yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan mereka.
Kuasa dalam Yakuza
Pada awalnya, Yakuza dianggap sebagai organisasi penipuan dan pencurian yang hanya membutuhkan kemampuan fisik. Namun, dengan perubahan zaman, mereka mulai menargetkan bisnis dan industri besar untuk mencari keuntungan. Mereka memanfaatkan kelemahan perusahaan-perusahaan tersebut dan menggunakan kekerasan untuk mengontrol pasar.
Sejenis Yakuza yang dipikirkan adalah sebagai “konsultan” untuk bisnis-bisnis kecil dan menengah, memberikan mereka perlindungan dari konfrontasi dengan korupsi. Ini seperti meminta bantuan seseorang untuk menghadapi lawan yang lebih kuat – dalam hal ini, korupsi dan ketidakstabilan.
Kekerasan: Menjadi Alat untuk Mencapai Tujuan
Yakuza menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka. Mereka menggunakan taktik yang disebut “shakubutsu” (kekuasaan melalui ketakutan) dan “batsu” (ekspresi kemarahan). Ini berarti mereka akan mengancam atau melakukan kekerasan fisik kepada lawan jika tidak mereka puas dengan perilaku mereka.
Contoh dari penggunaan kekerasan ini adalah dalam kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh Yakuza, seperti perampokan dan pencurian. Mereka menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dan menakut-nakuti lawan agar tidak mengganggu usaha mereka.
Sejarah Kekerasan dalam Budaya Populer Jepang
- Pada abad ke-19, Yakuza mulai menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka. Mereka menargetkan bisnis-bisnis dan industri besar.
- Setelah Perang Dunia II, Yakuza terus meningkatkan kekuasaan mereka dengan cara yang lebih modern. Mereka mulai menggunakan teknologi dan strategi baru untuk mencapai tujuan mereka.